Senin, 27 Juni 2011

Batavia: Menata Petualangan

SEKITAR awal 1980-an, dalam mata kuliah antropologi perkotaan (di Jurusan Antropologi, FISIP UI) yang ketika itu diberikan Dr Parsudi Suparlan, tiba-tiba bermunculan mahasiswa dari Fakultas Teknik UI. Rupanya mereka adalah mahasiswa Jurusan Arsitektur yang berminat terhadap masalah perkotaan dan penataannya.

Pada waktu itu pemekaran kota sedang marak (dan masih juga sampai sekarang!). Ahli antropologi, sosiologi perkotaan, dan planologi sibuk menjadi konsultan bagi pemerintah kota di berbagai daerah.

Orang awam barangkali menduga bahwa isu tata kota atau planologi perkotaan merupakan isu dan ilmu baru. Akan tetapi, sebetulnya hal ini merupakan masalah yang inheren dalam setiap masyarakat dan budaya.

Ada kearifan budaya yang diperlukan untuk menentukan di mana, bagaimana, kapan, dan untuk apa sebuah permukiman didirikan sehingga cocok dengan lingkungan dan budaya masyarakatnya. Penataan ruang hidup di dalam permukiman itu diatur pula sesuai dengan kearifan budaya masyarakat itu.

Orang-orang Belanda yang mendirikan Batavia di awal 1600 tidak menggunakan kearifan lokal ketika mulai membangun kota ini. Mereka memang tidak mengenal dan tidak peduli kepada masyarakat setempat ataupun budaya mereka. Mereka membangun sebuah kota di daerah tropis dengan gagasan perkotaan dan penataan ruang hidup yang ada di Eropa.

Terlepas dari baik-buruk dan berhasil-tidaknya pemikiran mereka, bagi kita yang tinggal di Jakarta masa kini, barangkali menarik untuk melihat sarana dan prasarana apa saja yang dianggap penting ada dalam sebuah kota pada waktu itu.

Nicolaus de Graaff dalam bukunya Reisen van Nicolaus de Graaff: gedaan naar alle gewesten des Werelds (beginnende 1639 tot 1687 incluis). ('s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1930) dan Ir HA Breuning dalam bukunya Het voormalige Batavia: Een Hollandse Stedestichting in de Tropen Anno 1619 (Utrecht: GJB. 1981) memberikan banyak informasi mengenai pembagian ruang hidup dan penataan kota Batavia ketika kota itu baru saja berdiri.

Nicolaus de Graaff, yang beberapa kali mampir ke Batavia ketika kapal VOC tempatnya bekerja sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, melaporkan, di dalam dinding kota Batavia terdapat gereja yang disebut De Kruiskerk (sekarang menjadi Museum Seni Rupa Keramik). Gereja besar ini terbuat dari batu karang berwarna putih dan dibangun pada 1640.

Di bagian tengah atapnya, di bawah figur ayam penunjuk arah angin, terdapat menara dengan jendela-jendela lengkung terbuat dari besi. Di menara itu terdapat jam yang hanya dibunyikan loncengnya bila akan ada kebaktian. Bagian dalam gedung ini luas dengan lampu-lampu dari perunggu yang dibawa dari negeri Belanda. Kursi-kursinya terbuat dari kayu eboni dan tampak cantik dengan bahan katun yang menghiasinya.

Balai Kota yang disebut juga Raadhuis atau `t Stadhuis dibangun di tengah-tengah kota di depan alun-alun yang besar. Batu pertama bangunan batu bertingkat dua itu diletakkan pada 1652. Pintu utamanya, persis di tengah-tengah bagian depannya, mengikuti contoh dari Orde Korintia. Di bagian atas terdapat serambi yang dapat dicapai dari oppersaal atau balairung atas.

Di dalam Balai Kota itu terdapat ruangan-ruangan mewah tempat kerja petinggi VOC yang disebut de Raad van Indie, anggota pemerintahan kota (schepenen), para pemimpin rumah yatim-piatu (weesmeesters), pejabat dan pemimpin-pemimpin lain, serta para pengawas pengadilan militer dan pengadilan masyarakat.

Di dalam Balai Kota itu juga terdapat binnenplaats atau alun-alun dalam. Tempat ini tertutup oleh dinding batu yang tinggi dan kokoh. Berbagai ruangan yang terdapat di binnenplaats itu gelap, pengap dan tidak menyenangkan, karena memang ruangan-ruangan itu berfungsi sebagai tempat penahanan para penjahat dan pembuat onar kota Batavia. Tempat tinggal para pegawai pengadilan juga terdapat di bagian ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes